Salah satu karakteristik industri kemasan adalah proses produksinya yang bersifat job order, bukan sesuatu yang dirancang untuk sekali produksi secara massal terus menerus seperti pembuatan alat elektronik dan ditaruh di toko untuk dijual. Di pabrik kemasan setiap job akan mengalami pengulangan produksi yang hitungannya bisa harian, bulanan atau bahkan tahunan. Variasi produknya bisa ratusan sampai ribuan.
Dikarenakan jobnya yang bersifat pengulangan, maka konsistensi untuk menjaga supaya hasil produksi sama dengan yang sebelumnya adalah sesuatu yang penting. Pertanyaannya seberapa jauh bisa sama, 100%, 90%, 80%, atau berapa? Tidak ada yang bisa memberikan jawaban pasti. Karena kalau dibilang 100%, pabrik kemasan akan tutup semua karena tidak akan ada yang sanggup untuk memproduksi warna yang sama 100% dengan yang sebelumnya atau membuat ukuran kemasan mesti 100% sama tanpa ada toleransi sama sekali. Tetapi kalau dibilang 90%, bagaimana anda akan mengukur perubahan warna dalam satuan persentase? Kondisi lingkungan dan mata yang bisa berbeda “sikon” nya dapat mengakibatkan perbedaan warna. Belum lagi dengan permasalahan di mesin yang kadang-kadang tidak bisa diajak kerjasama untuk mencetak hasil yang bagus, bahkan untuk mencetak 1 warna sekalipun. Sehingga material yang sudah dialokasikan mengalami kekurangan dan outputnya tentu berkurang. Mau tidak mau diproduksi ulang dengan jumlah sedikit. Cukup sulit bukan..
Dari cerita diatas, poin penting yang ingin saya sampaikan disini adalah mengelola bagian produksi kemasan tidak segampang yang dipikirkan. Oleh karena itu ilmu mengenai “shoop floor”, a floor factory/machine where people working, adalah sangat penting. Permasalahannya seringkali hal ini tidak disadari oleh para pemiliki pabrik atau jangan-jangan memang tidak mau menyadarinya. Sehingga perekrutan production manager atau plant manager hanya sebatas penilaian subjektif pemilik pabrik.Yang penting adalah mengejar omset penjualan sebesar-besarnya, dan dengan semakin besarnya omset maka diharapkan pabrik akan semakin baik untuk bayar biaya operasional dan gaji karyawan…Apakah memang benar seperti itu?..Bagaimana kalau ternyata “shop floor” di pabrik tersebut banyak kebocoran disana-sini. Material yang dipakai tidak terkontrol, penjadwalan tidak terencana dengan baik, prepress tidak bekerja sebagaimana mestinya. Sehingga seberapa banyakpun order masuk, perusahaan ternyata tidak beranjak menjadi lebih baik. Yang ada malah semakin kesulitan mengelola cash flow, karena material yang dibeli mesti segera dibayar, sedangkan uang masuk dari penjualan masih lama.
Belajar dari kasus Newsweek yang memutuskan untuk stop memproduksi edisin cetakan mingguan yang menggunakan kertas dan menggantikannya dengan media online, saya melihat sepertinya (hanya “reckon” sekilas dari saya… ) para pemilik merasa daripada mereka membuang-buang uang jutaan dollar sebulan untuk membeli kertas dan membiayai operasional pabrik percetakan sedangkan profit yang dihasilkan tak seberapa, lebih baik mereka menghemat uang tersebut. Tidak masalah memiliki penjualan yang tidak sebesar dulu lagi tapi mereka melihat opportunity untuk mendapatkan profit yang lebih besar karena biaya yang dikeluarkan sudah tidak sebesar dulu lagi. Bukankah profit didapat dari hasil penjualan dikurangi cost yang dikeluarkan. Bukankah ini yang dicari oleh para pemilik pabrik sesungguhya, profit ??..
Jadi, buat para pemilik pabrik, sebelum anda menyuruh tim sales anda mencari order-order sebanyak-banyaknya, pastikan bahwa “shop floor” anda sudah termanage dengan baik. Kalau tidak, anda akan seperti mobil yang melaju kencang dengan zig zag di jalan tol. Ketika anda sampai tempat pembayaran tol, anda melihat mobil-mobil yang sudah anda lewati dengan kencang tadi satu-persatu dengan pelan menghampiri disisi kiri dan kanan untuk ikut bersama-sama membayar tol. Sudah membuat mobil boros, membahayakan diri sendiri dan orang lain, penumpang tidak nyaman, eh ujung-ujungnya sama juga dengan mobil yang lain…Tengsin gak tuhhhh J
Comments
Post a Comment