Beberapa waktu yang lalu saya membeli ponsel smartphone android yang di”bundling” dengan kartu oleh salah satu operator cellular di Indonesia. Sebenarnya saya sudah punya ponsel smartphone android merk Samsung. Tetapi saya memutuskan untuk memiliki satu lagi, selain karena tertarik dengan harganya yang “ekonomis” (gak tega kalau dibilang murah J ), fitur yang diusung sepertinya mumpuni dan juga karena ingin saya memanfaatkan sebagai mobile hotspot.
Harapan saya pada saat itu seharusnya ponsel ini cukup nyaman untuk digunakan. Akses menu yang cepat, sistem yang stabil , browsing internet yang lancar. Harapan ini seharusnya tidak muluk-muluk karena prosesor yang diusung adalah 1 Ghz (dual core).
Tetapi pada saat ponsel sudah ditangan dan mulai menjajal kemampuannya, hasil yang didapatkan tidak sesuai dengan harapan. Akses menu yang terkesan masih ada “lag”, sistem yang kadang suka “hang” dan mesti di restart dengan melepas battery plus speed browsing yang standard-standar saja. Secara umum ponsel “bundling”-an ini “score” nya masih kalah dengan smartphone Samsung yang saya punya dalam memberikan “personal experience”. Padahal ponsel Samsung itu spesifikasinya single core dengan speed 1.4 Ghz. Yang jelas kalau ponsel yang dual core tersebut cukup sering “hang” sedangkan yang single core cukup stabil dan sangat jarang “hang”.
Saya mencoba mencari tahu kenapa ponsel yang 1 Ghz dual core ini performancenya masih kalah dengan yang 1.4 Ghz single core. Ternyata apabila ditelaah lebih jauh lagi, ponsel yang dual core, GPU nya adalah adreno 203, sedangkan yang 1.4 Ghz single core menggunakan GPU adreno 205. GPU adalah “graphic processing unit”, unit yang memproses tampilan/grafis sebuah perangkat dalam hal ini ponsel. Kemampuan dual core 1 Ghz ternyata menjadi sia-sia karena GPU 203 tidak bisa mengimbangi setiap olahan data dari dual core nya. Makanya ponsel yang dual core ketika meloading game yang berat bisa dilakukan dengan baik, tetapi pada saat dijalankan gamenya ternyata tidak se-responsif ponsel Samsung yang 1.4 Ghz tersebut.
Inilah yang saya maksud dengan “It’s all about balancing”. Sebuah performance dari sebuah sistem atau entitas, tidak bisa hanya mengandalkan kemampuan yang canggih dari satu bagian saja, tetapi harus dirangkai dalam sebuah sistem yang memiliki keseimbangan (balancing). Layaknya sebuah tim sepakbola, yang dibutuhkankan adalah keserasian dan kerjasama tim plus strategi yang matang. Mau taruh pemain sekualitas Messi di timnas pun kalau sendirian tetap tidak akan bisa membuat timnas jadi juara se Asia Pacific kalau tidak didukung dengan kemampuan oleh pemain yang lain.
Sama halnya dengan dunia packaging. Ketika seorang pemilik modal memutuskan untuk masuk ke dunia packaging dan hanya mengandalkan kemampuan satu mesin yang “branded” tanpa memikirkan kemampuan mesin atau proses yang lainnya, maka akan susah diharapkan perusahaan tersebut memberikan performance yang “mumpuni”. Konsep-konsep continuous improvement seperti TQM, Six Sigma, Benchmarking akan menjadi jargon belaka kalau tidak dilakukan “balancing” tadi.
Saya jadi teringat kalau ngobrol dengan teman-teman packaging dan biasanya suka menggembar-gemborkan kemampuan mesin printing 9 atau 10 warna yang eropa punya baik itu punya competitor atau punya pabrik tempat mereka bekerja. Agak susah dapat order katanya kalau tidak punya mesin printing dengan kemampuan dibawah 9 warna. Padahal ada pemain packaging dari jepang yang hanya mengandalkan mesin printing 8 warna tetapi malah bisa menjadi pemimpin pasar. Kenapa bisa demikian?...Karena perusahaan tersebut tidak tergantung hanya pada kemampuan mesin printing semata, tetapi mereka mengoptimalkan setiap proses yang dilewati untuk menghasilkan sebuah packaging yang bagus. Salah satu proses yang cukup penting tersebut adalah colour management. Perpaduan a good knowledge of colour management plus mesin printing 8 warna akan bisa mengalahkan mesin printing 9 atau 10 warna yang hanya mengandalkan kemampuan operator mesin printing. Disinilah weakness dari para pemain packaging di Indonesia. Warna itu memang susah dan cenderung bersifat subjektif, oleh karena itu warna perlu di manage, perlu diukur dan itu bisa dilakukan. Ada banyak critical success factor lain yang tidak bisa dibahas pada blog kali ini.
So..bagi perusahaan-perusahaan packaging yang kesulitan untuk mengembangkan market sharenya atau malah cenderung berkurang diambil alih kompetitor, saran saya cuma satu…”It’s all about balancing”.
Absolutely Agree with you Pak...
ReplyDelete